Kamis, 23 April 2015

wayang indonesia

Wayang Itu Komik

ARJUNA WIWAHA 1
SEBENARNYA periode komik wayang tak pernah dikenang karena penerbit komik waktu itu menamainya ”komik klasik”. Periode ini ditandai setelah era jenis Sri Asih (tentu bersama Nina, Garuda Putih, Kapten Kilat), superhero yang dianggap kurang nasionalis, mengumbar khayal, dan tuduhan paling aneh: membuat anak-anak malas membaca. Dr Marcel Boneff, pakar komik Indonesia yang selalu jadi rujukan, menggambarkannya sebagai du fruit defendu, buah terlarang. Lebih buruk dari buah simalakama—masih bisa dimakan.
Mahabrata/Bharatayudha- karya RA Kosasih
Para penerbit, terutama Melodie dan Cosmos, keduanya di Bandung, sama-sama di Jalan ABC, menghentikan manusia sekaligus dewa itu. Tokoh pahlawan beralih ke cerita rakyat, Ganesha Bangun, Loetoeng Kasaroeng, oleh komikus yang sama, R.A. Kosasih, yang kemudian menserialkan Ramayana dan Mahabharata. Juga nama sejajar sebelumnya, John Lo, serta yang melegenda, S. Ardisoma, Oerip. Pada S. Ardisoma, sapuan kuas menimbulkan suasana puitis untuk adegan keraton, adegan pohon beringin, adegan long shot, bahkan perang sekalipun. Bedanya lagi, R.A. Kosasih setia dengan ”kisah India”, sehingga tokoh punakawan tidak muncul.
Sejak 1958 itu, periode yang kita namai komik wayang memberikan warna di antara jenis-jenis yang lain, walau sebenarnya penerbit Keng Po sudah menerbitkan Lahirnya Gatutkaca pada 1954. Sedemikian populernya jenis wayang, sehingga Bahsjar S.J., pelukis dan ilustrator di Medan—komik medan – Bharata Yudha, lukisan Bahzar SJ – pengarang :DJ Bulkanny
kota lain yang memelopori komik Indonesia—juga membuat komik wayang. Komik dari komikus Medan sedikit berbeda dengan perkembangan di Jawa karena biasanya lebih dulu dimuat di harian setempat. Tak mengherankan jika komikus jawara seperti Taguan Hardjo dalam suatu saat mengisi tiga atau empat media setiap harinya.
Komik wayang, juga komik berdasarkan cerita daerah atau legenda, dinilai lebih aman, lebih mendidik, dan yang jelas lebih mengakar. Sehingga tak dikritik, juga tak kena ”bredel”, periode yang terulang keras pada 1966. Karya-karya R.A. Kosasih merajai dalam jumlah dan jilid yang dikeluarkan. Sambung-menyambung menjunjung kisah pewayangan yang tak banyak dikenal masyarakat non-Jawa.
68398_10151137660758736_1264061832_a
Menurut saya (yang tak usah diturut), ini yang menyebabkan popularitas Mahabharata panjang usia. Generasi nonpribumi—kalau istilah ini boleh dipakai—atau mereka yang hidup di kota besar pada saat itu baru ”melek wayang”. Jumlahnya cukup banyak, satu jilid bisa mencapai 30 ribu eksemplar. Dan bahan baku ceritanya juga bisa diperpanjang. Sebab, setelah kisah Astina, masih berlanjut ke Prabu Parikesit, kemudian ke Prabu Udrayana. Untuk judul terakhir ini, R.A. Kosasih, 30 tahun lalu ketika saya bertemu, membuatnya di atas kertas minyak sebagai pengganti klise, dan dengan demikian ukuran komik nanti setelah terbit berbanding satu-satu. Artinya, garis dan goresannya terlihat sangat tebal.
Namun sebenarnya bukan hanya itu. Kota-kota lain, seperti Solo, Semarang, Bogor, bahkan Tasikmalaya, juga melahirkan penerbit dan komikus. Yang menarik sekali adalah tidak adanya keseragaman dalam komik wayang. Gaya masing-masing komikus bisa terbedakan. Bahkan juga konsepnya. Ada beberapa komik wayang yang benar-benar memindahkan wayang kulit, dengan segala keruwetan ornamennya.
9276_10151137658883736_391525344_a
komik semarang : Dagelan Petruk Gareng – Indri Soedono
Ada yang mengambil babon—induk cerita—dari yang selama ini dikenali, ada yang membuat varian dari itu atau bahkan banjaran, yang bersifat biografis dari satu tokoh, ada yang menitikberatkan humor punakawan.
Sesungguhnya inilah keunggulan kreatif bentuk komik, tidak ada matinya. Dinamika kreatif membuktikan bahkan sejak awalnya, tanpa patron, tanpa fasilitas tertentu, bisa lahir berkembang membanjiri pasar atau kamar. Ketika jenis Sri Asih tersisih, jenis wayang melenggang. Ketika wayang menghilang, ganti rupa kisah cinta. Yang mengalami pembredelan dan pengawasan yang sama berubah menjadi komik agama, atau bahkan ”komik Pancasila”, dan/atau kisah perjuangan. Dan masyarakat tetap menerima, menunggu, melalui taman bacaan atau yang dikenal dengan ”persewaan buku”. Mata rantai itu telah tercerai-berai, bahkan dari sumber awalnya, dari komikus.
486371_10151137656028736_956342991_a
komik “wayang” india, terjemahan – terbitan gramedia
Komik luar negeri lebih murah harga satuannya, lebih berlimpah jumlah judulnya, lebih terarah penyebaran dan promosinya.
Namun komik Indonesia sendiri tak pernah kehilangan gairah, walau galau dan lesu darah. Masih selalu ada komik wayang yang diterbitkan dengan desain yang berbeda, dengan berwarna, dengan ”cahaya” dan ”sudut pengambilan” layaknya sebuah film, atau adegan pertarungan ala game.
Komik dan wayang agaknya memang satu. Merupakan bayang-bayang yang diekspresikan kembali dari keberadaan kita. Selama kita masih ada, selama itu pula masih ada bayangan. Dan itu adalah wayang atau komik, atau dua-duanya.
oleh: Arswendo Atmowiloto
Dipublikasikan pertama kali di Majalah Tempo, edisi 24-31 Agustus 2009
http://www.facebook.com/notes/wayang-nusantara-indonesian-shadow-puppets/wayang-itu-komik-arswendo-atmowiloto/10151503097651110

Gatotkaca – versi jawa kuna dari ADIPARVA

GATOT_KACA_by_willustration
Sang Bhima dibawa terbang ke gunung Srngga. Maka lalu berhias diri, segala sesuatunya menyebabkan rupanya merindukan;
segala macam pakaian yang utama dikenakannya.
Karena itu Sang Bhima merasa senang, lalu berjalan-jalan di tempat yang sangat ramainya, tempat itu didatangi berdua.
Masuk taman dalam hutan itu, sampai di asrama, di gunung, habis didatanginya.
Mereka merasa senang. Akhirnya ia bercumbuan dengan sang Hidimbi,
dan berputera seorang (berbadan) raksasa,
tiksnadamstra taringnya tajam,
sutamranetra matanya merah,
mahawaktra mulutnya lebar,
sangkukarna telinganya seperti lipung (tombak),
mahatanuh badannya besar,
mahajothawa perutnya (pun) besar,
mahabalah sangat saktinya dan kuat pula.
Balo ‘pi yauwanam praptah karena anak lahir di hutan (menyebabkan) tiada takut akan segala macam bahaya.
Agrastah tiada kurang sedikitpun kebagusan perangainya,
manojawah jalannya sangat kencang, sama dengan jalan pikiran, kesaktiannya bagai kesaktian raksasa.
Maka anak itu menyembah ke pada ibu dan bapanya.
Ghatopamah kacokesi lagi pula kelihatan rambutnya lebat tidak teratur, sanggulnya seperti ghata (periuk)
Tasmad Ghatotkaca maka diberinya nama Ghatotkaca.
Sangat moleknya, diramalkan Batara Indra, kelak akan mendapatkan lipung Sang Karna.
Demikianlah anak Sang Bhima itu.
Sesudah sang Hidimbi berputera itu lalu kembali ke tempat Dewi Kunti diiringkan oleh Sang Bhima dan sang Ghatotkaca.
Bertemulah empat orang Pandawa dalam pesta, tiada kurang sedikitpun berkat kebesaran jiwa sang Hidimbi.
kemudian datanglah Ghatotkaca minta supaya diberi petunjuk barang sesuatu yang baik dikerjkan dalam keadaan bahaya yang mungkin terjadi.
Sesudah menyembah dan minta diri ke pada Dewi Kunti dan lima orang Pandawa, iapun pergi bersama dengan ibunya.
Sang Pandawa ditinggalkannya.
Bahasa Jawa Kuna dan Indonesia oleh P.J. Zoetmulder, penerbit Paramita – Surabaya 2006 (bab XV- hal 232)
http://www.facebook.com/notes/wayang-nusantara-indonesian-shadow-puppets/gatotkaca-versi-jawa-kuna/10151514641601110

pupuh II, asmarandana , 39 bait : Serat Bathara Rama (Cirebon)

12468755-ramayana-paintings-on-the-wall-wat-nangphaya-phit-sa-nu-lok-thailand
Kisah yang sangat berbeda dari “Ramayana” , tentang Anoman/Hanuman …….
dari Serat Bathara Rama Cirebon – koleksi perpustakaan Sanabudaya dengan nomor kodeks perpustakaan Serat Carik Panti Budaya (P.B.) A.287
-Tinjauan Serat Bathara Rama (Cirebon) – oleh Sumarsih
Derpartemen Pendidikan dan Kebudayaan , Direktorat Jendral Kebudayaan
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) 1985
Pupuh II. Asmarandana 39 bait
Laksmana lalu minta diri. Setalah sampai dihadapan Sri rama, Laksmana lalu menyampaikan semaua kata-kataresi Mahardidewa dan Candradewa.
Sri Rama mendengar kata-kata kedua resi itu sangat gembira lalu mencari hutan Trengganasari.
Sesampainya di hutan Trenggana sari Sri Rama merasa haus, karena di sekitar hutan Trenggana sari tidak ada air, maka disuruhnya Laksmana mencari air.
Sepeninggal Laksmana, Sita Dewi sepert mendengar suara orang mengeluh kesakitan. Sita Dewi menyangka itu suara Laksmana, maka ia mengajak Sri Rama mencari Laksmana.
Diceritakan Laksmana bertemu dengan raksasa bernama Raktani. Raktani lalu dibunuhnya dengan panah dan bangkainya berubah menjadi seekor burung Jambawati. Burung Jambawati menyerang Laksmana sambil menyambar-nyambar, lalu dipanah Laksmana hingga mati. Setelah Jambawati mati, Laksmana meneruskan perjalanan untuk mencari air.
Sampailah Laksmana di tempat telaga Tan Mala dan telaga Sumala. Laksmana ingat pesan resi Mahadiwa dan Candrasewa, dihampirinya telaga yang keruh airnya. Laksmana mengambil tiga ruas pohon bambu untuk membawa air . Setelah didapatkan lalu kembali menghadap Sri Rama.
Diceritakan Sri Rama dan Sita Dewi sangat kehausan, lalu mencaei telaga yang bening airnya, sampailah Sri Rama dan Sita Dewi di telaga Sumala. Karena hausnya, tanpa pikir lagi Sri Rama lalu terjun ke dalam telaga Sumala diikuti oleh Sita Dewi.
Pada saat itu Laksmana belum jauh meninggalkan telaga Tan Mala. Waktu mendengar suara benda terjun ke air. Laksmana lalu mendekati telaga Sumala.
Laksmana sangat terkejut bahwa yang terjun ke telaga Sumala itu tak lain Sri Rama dan Sita Dewi. Laksmana hendak melarangnya, tetapi Sri Rama dan Sita Dewi telah terlanjur terjun ke air.
Hanuman-Recites-The-Ramayana (1)
Telah menjadi kehendak dewa, seketika wujud Sri Rama dan Sita Dewi berubah menjadi kera, dan kelakuannya tak ubahnya seperti binatang. Sri Rama dan Sita Dewi melakukan hubungan kelamin tanpa rasa malu dilihat oleh Laksmana.
Melihat kejadian itu Laksmana segera melepas ikat pinggangnya untuk dibuat jerat. Segera dijeratnya kaki Sri Rama dan dibantingnya Sri Rama ke telaga yang keruh, demikian juga Sita Dewi.
Seketika itu juga Sri Rama dan Sita Dewi berubah ujud kembali menjadi manusia. Sri Rama berterimakasih kepada Laksmana yang telah menolongnya membebaskan diri dari wujud binatang.
Laksmana berkata kepada Sri Rama, akibat perbuatannya berhubungankelamin dengan Sita Dewi sewaktu menjadi kera, akan membuahkan anak dengan wujud bukan manusia melainkan berwujud kera. Mendengar kata Laksmana, Sri Rama dan Sita Dewi menjadi sedih, kemudian mereka kembali ke perkemahannya.
Sesampainya di tempat perkemahan, Sri Rama menyuruh inang pengasuhnya supaya memijit Sita Dewi. Setelah dipijit, keluarlah sebuah manikam dari lejer Sita Dewi. Manik itu lalu diambil Sri Rama dan dibungkus dengan daun kamumu.
Sri Rama lalu memanggil Sang Hyang Bayu, bungkusan itu yang berisi manikam itu lalu diberikan kepada Sang Hyang Bayu, sebelumnya bungkusan itu dioberi tanda anting-anting, bahwa barang siapa yang memakai tanda anting-anting milik Sri Rama itu, adalah anak Sri Rama sendiri.
Sang Hyang Bayu lalu minta diri sambil membawa bungkusan itu untuk mencari siapa orangnya yang pantas menjadi ibu manikam tersebut.
Diceritakan juga, konon, Sang Hyang Bayu itu, mempunyai lima orang anak angkat; yang berwujud kera bernama Hanuman, yang berwujud manusia bernama Bima, yang berwujud gajah bernama Satubanda, yang berwujud gunung bernama gunung Parasu dan yang kelima bernama Bayutanaya.
http://www.facebook.com/notes/wayang-nusantara-indonesian-shadow-puppets/pupuh-ii-asmarandana-39-bait-serat-bathara-rama-cirebon/10151564661846110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar